Selasa, 03 Februari 2015

PENGAMATAN KESEHATAN JEMAAH UMRAH DALAM RANGKA MENCEGAH PENYEBARAN PENYAKIT MENULAR BERBAHAYA



A.   PENDAHULUAN

Sejak tahun 2013 Kementerian Kesehatan Indonesia mewaspadai munculnya penyakit-penyakit menular seperti virus MERS-Cov di Arab Saudi dan mewabahnya virus Ebola di Afrika Barat. MERS-Cov adalah penyakit yang menyerang pernafasan yang disebabkan suatu strain baru virus Corona yang belum pernah ditemukan menginfeksi manusia sebelumnya. Berdasarkan laporan WHO, sejak september 2012 sampai september 2013, telah ditemukan 130 kasus konfirmasi dengan 58 kematian. MERS-Cov mulai menyebar ke Eropa serta dapat pula menyebar ke negara lain. Sedangkan Ebola adalah salah satu penyakit demam berdarah yang berakibat fatal pada manusia, berdasarkan laporan WHO periode 1 Oktober 2014, telah ditemukan 7491 kasus dengan 3439 kematian yang tersebar di Guinea, Liberia, Siera Lione, Nigeria dan Senegal.
Walaupun sampai saat ini belum ditemukan adanya kasus konfirmasi MERS-Cov dan Ebola di Indonesia, namun peluang penyakit-penyakit tersebut untuk masuk ke Indonesia cukup besar. Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, sehingga pada musim haji dan umrah banyak penduduk muslim yang berangkat ke Arab Saudi. Dimana di Arab Saudi para jemaah haji dan jemaah umrah Indonesia tidak menutup kemungkinan akan saling berbaur dan berinteraksi dengan penduduk yang terjangkit MERS-Cov serta jemaah haji atau jemaah umrah dari negara yang terjangkit Ebola. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada musim haji 2013 sekitar 200.000 orang melakukan Ibadah Haji di Arab Saudi, sedangkan pada tahun yang sama sekitar 750.000 orang melakukan ibadah umrah di Mekah.
Berdasarkan skenario dan kondisi di atas, maka para jemaah haji dan jemaah umrah tentunya rentan dengan paparan virus Middle East Respiratory Siyndrome Corona Virus (MERS-Cov) dan Ebola, yang kemudian berpotensi untuk membawa pulang virus tersebut ke tanah air. Untuk mencegah hal tersebut, maka dibutuhkan sebuah upaya pemeriksaan dan pemantauan kesehatan para jemaah haji dan jemaah umrah saat sebelum berangkat, saat menjalankan ibadah di Arab Saudi dan setelah kembali ke tanah Air.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengatur penyelenggaraan kesehatan haji melalui sebuah kebijakan yang tertuang dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia. Namun untuk penyelenggaraan kesehatan umrah, sampai hari ini Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota beserta Puskesmas sebagai pihak yang paling dekat dengan masalah kesehatan masyarakat belum pernah mendapatkan petunjuk teknis tentang penyelenggaraan kesehatan jemaah umrah.

 

B.  PENJELASAN MASALAH

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tahun 2013 pada bagian pendahuluan, maka dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang berangkat umrah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menunaikan ibadah haji, sehingga resiko transisi penularan berbagai penyakit menular melalui jemaah umrah jauh lebih besar daripada melalui jemaah haji. Pendapat tersebut semakin diperkuat dengan belum adanya kebijakan yang jelas di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas untuk mengatur dan mengawasi kondisi kesehatan para jemaah umrah khususnya saat jemaah umrah kembali ke tanah air.
Pada penulisan paper kebijakan ini, MERS-Cov dan Ebola hanyalah serpihan-serpihan kecil yang menjadi topik global paling hangat dan faktual dari berbagai macam jenis penyakit menular yang dapat menjadi masalah kesehatan bagi jemaah umrah. Berikut ini akan dibahas tentang berbagi hal penting yang harus diperhatikan terkait penyakit MERS-Cov dan Ebola.
 

1.      MERS-Cov
Virus Corona jenis baru ini pertama kali dilaporkan pada bulan maret 2012 di Arab Saudi. Data WHO periode 30 September 2013 kasus ini telah menyebar ke berbagai negara berikut :
Tabel 1. Jumlah Kasus dan Kematian serta Penyebaran MERS-Cov (30/09/2013)
Negara
Kasus
Kematian
Perancis
2
1
Italia
1
0
Yordania
2
2
Qatar
5
3
Arab Saudi
108
47
Tunisia
3
1
Inggris
3
2
Uni Emirat Arab
6
2
Total
130
58
Berdasarkan data tersebut, maka angka kematian yang ditimbulkan oleh MERS-Cov adalah 44,6% jauh lebih fatal jika dibandingkan SARS yang sebelumnya pernah membuat panik dunia pada tahun 2002 dengan angka kematian 10%. Masa inkubasi atau waktu yang dibutuhkan sejak virus masuk ke dalam tubuh hingga munculnya gejala adalah 2-14 hari. MERS-Cov menular melalui udara, sehingga langkah pencegahan yang paling tepat adalah dengan menggunakan masker.
Sebagian besar orang yang terinfeksi MERS-Cov berkembang menjadi penyakit saluran pernapasan berat dengan gejala gejala demam, sakit dada, batuk/bersin,  napas pendek, lemah, diare (tdk ditemukan di semua kasus), gagal ginjal, dan pneumonia. Orang-orang yang mudah terinfeksi virus mematikan ini adalah mereka yang kekebalan tubuhnya rendah, seperti orang yang sedang sakit, lansia, anak kecil, orang yang sedang kelelahan, dalam perjalanan, dan makan tidak teratur.
Yang menjadi permasalahan terbesar terkait virus ini adalah belum ditemukannya vaksin yang spesifik untuk mencegah infeksi MERS-Cov. Selain itu, juga belum ditemukan metode pengobatan yang secara spesifik dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh MERS-Cov. Perawatan medis hanya bersifat supportive untuk meringankan gejala.

2.      Ebola
Penyakit Ebola disebabkan oleh virus ebola yang pertama kali ditemukan di Zaire pada tahun 1976. Penyakit ditandai dengan demam mendadak, lemah, nyeri otot, sakit kepala, sakit tenggorokan. Gejala ini diikuti dengan muntah, diare, ruam, gangguan fungsi ginjal dan hati, dan dalam beberapa kasus terjadi perdarahan internal maupun eksternal. Data WHO periode 1 Oktober 2014, penyakit ini ditemukan di beberapa negara berikut :
Tabel 2. Jumlah Kasus dan Kematian serta Penyebaran Ebola (1/10/2014)
Negara
Kasus
Kematian
Guinea
1199
739
Liberia
3834
2069
Siera Lione
2437
623
Nigeria
20
8
Senegal
1
0
Amerika
1
0
Kongo
70
43
Total
7491
3439
Berdasarkan data tersebut, maka angka kematian yang ditimbulkan oleh Ebola adalah 44,9%. Angka tersebut berarti bahwa dari 10 orang yang terjangkit Ebola hampir 5 orang diantaranya meninggal. Masa inkubasi penyakit ebola adalah antara 2 sampai 21 hari, transmisi antar manusia terjadi dengan cara kontak langsung melalui selaput lendir atau kulit terluka dengan darah atau cairan tubuh orang terinfeksi, serta kontak tidak langsung melalui barang, alat medis, atau lingkungan terkontaminasi cairan tubuh pasien terinfeksi.
Seperti halnya dengan MERS-Cov hingga saat ini belum ditemukan vaksin spesifik untuk mencegah ebola dan pengobatan hanya bersifat suportif tergantung kondisi pasien. Yang perlu menjadi perhatian adalah pasien pria yang telah sembuh dari Ebola masih bisa menularkan penyakit melalui cairan sperma sampai 7 (tujuh) minggu setelah dinyatakan sembuh.
 

Sebagaimana yang dikemukakan di awal penjelasan masalah, bahwa MERS-Cov dan Ebola hanya representasi dari berbagai penyakit menular yang berpotensi menyebar ke tanah air melalui jemaah umrah. Policy paper ini semacam “etalase” mini yang memajang 2 (dua) model terbaru penyakit menular mematikan, dimana dibelakang “model-model” tersebut masih terdapat penyakit menular lain seperti meningitis dan flu  H7N9. Salah satu tujuan penulisan policy paper ini adalah untuk membuka cakrawala berpikir kita bahwa ada bahaya penyakit menular mematikan dari luar yang sangat berpotensi menular sampai ke Indonesia melalui jemaah umrah.
Mari kita perhatikan masa inkubasi 2 (dua) penyakit tadi, MERS-Cov memiliki masa inkubasi 2-14 hari sedangkan Ebola 2-21 hari. Jika gejala penyakit muncul pada hari-hari awal seperti hari ke 2 atau 3, maka pihak kesehatan di Arab Saudi tentu akan menangani lebih awal dengan memberlakukan karantina untuk dilakukan perawatan, dan jika pihak Arab Saudi tidak sempat melihat gejalanya maka pihak KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) yang bertugas di pintu-pintu masuk Bandara yang akan menanganinya. Tetapi mari kita “berfantasi” sejenak, membayangkan meskipun kita tidak sanggup membayangkan, jika gejala penyakit muncul di hari-hari terakhir seperti pada hari ke 14 untuk MERS-Cov dan pada hari ke 21 untuk Ebola, bisa kita pastikan bahwa baik itu pihak kesehatan Arab Saudi dan KKP di Indonesia tidak akan menemukan gejalanya. Dengan kata lain, virus itu telah masuk ke Indonesia dan kemungkinan menyebar kepada orang-orang di sekitar jemaah umrah.
Permasalahan mendasarnya adalah, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas sebagai pihak yang paling dekat dengan masalah kesehatan masyarakat tidak memiliki data-data tentang jemaah umrah di wilayah kerja mereka. Dinkes dan Puskesmas sama sekali tidak mengetahui jika ada warga yang berangkat umrah, kapan berangkat dan kapan kembali. Saat jemaah umrah pulang ke tanah air dan kembali ke masyarakat, kita tidak akan bisa melacak dan memantau perkembangan kesehatannya.
Selama ini pihak KKP sebenarnya telah membekali para jemaah umrah serta para penumpang pesawat yang datang dari luar dan kembali ke tanah air dengan kartu kewaspadaan kesehatan, dimana pada kartu itu para pendatang dan jemaah umrah dihimbau untuk memeriksakan diri ke dokter terdekat jika mengalami sakit dalam 14 hari setelah kedatangan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para jemaah umrah memiliki kesadaran aktif untuk memperhatikan himbauan di kartu tersebut, bagaimana jika kartu tersebut hilang atau “dihilangkan”, kebanyakan jemaah akan menganggap sakit mereka sebagai sakit biasa karena ketidaktahuan mereka.
Mungkin kita tidak akan pernah mampu mencegah 100% virus-virus dari luar itu masuk, namun yang terpenting adalah adanya deteksi dini untuk mencegah penularan lebih besar melalui kewaspadaan petugas kesehatan yang ada di bagian paling terdekat dengan masyarakat seperti Puskesmas. Untuk itu dibutuhkan data-data yang akurat tentang jemaah umrah, dibutuhkan adanya catatan kesehatan yang lengkap, serta informasi akurat kapan mereka berangkat dan kapan mereka kembali. Karena selama ini data-data tersebut hanya ada di KKP atau agen/travel perjalanan. 



C.   ALTERNATIF KEBIJAKAN

Untuk mengoptimalkan pemantauan kesehatan jemaah umrah dalam rangka mencegah penyebaran penyakit menular berbahaya, berikut adalah beberapa pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan :
 

1.      Membuat MOU antara PEMDA dengan Agen Perjalanan
Senada dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota pihak Kantor Departemen Agama Seksi Haji dan Umrah sangat menyayangkan tidak adanya data dan informasi tentang jemaah umrah di wilayah kerja mereka. Para jemaah Umrah pada umumnya akan berurusan langsung dengan pihak agen atau travel yang akan memberangkatkan mereka ke Arab Saudi. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu membuat perjanjian kerjasama dengan para Agen Perjalanan Umrah sehingga jemaah umrah tidak terlepas begitu saja dari daerah asalnya.
Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Agen Perjalanan Umrah harus menitikberatkan pada penyediaan data dan informasi menyeluruh terkait jemaah umrah. Dengan adanya perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Agen Perjalanan Umrah, maka data-data yang dibutuhkan seputar jemaah umrah akan tersedia, setiap warga yang akan melaksanakan ibadah umrah akan dengan mudah diketahui alamatnya, sehingga akan memudahkan petugas kesehatan di Puskesmas untuk melakukan pemantauan kesehatan setelah mereka kembali ke tanah air.
Yang menjadi kekurangan dalam kebijakan ini adalah, tidak semua Pemerintah Daerah memiliki inisiatif untuk membuat perjanjian kerjasama dengan Agen Perjalanan, sehingga meskipun data dan informasi umrah di suatu daerah tersedia data umrah di daerah lain tidak akan tersedia, hal ini tentunya akan sia-sia karena proses transmisi penyakit secara lokal akan tetap berjalan karena hanya diawasi dari satu pihak saja. Disamping itu, tidak ada peraturan mengikat yang mengharuskan para Agen atau Travel Perjalanan Umrah untuk membuat perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Daerah.

2.      Bekerjasama dengan pihak KKP dalam Diseminasi Data Jemaah Umrah
Tugas pokok Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) adalah melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit, penyakit potensial wabah, surveilans epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian dampak kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan, pengawasan OMKABA serta pengamanan terhadap penyakit baru dan penyakit yang muncul kembali, bioterorisme, unsur biologi, kimia dan pengamanan radiasi di wilayah kerja bandara, pelabuhan dan lintas batas darat Negara.
Disaat ada jemaah umrah yang dicurigai mengalami gejala yang mirip dengan penyakit menular berbahaya, maka Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) akan mengadakan karantina untuk melakukan tindakan perawatan lanjut. Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) berperan penting dalam memberikan informasi terkini terkait jemaah umrah.
Disamping itu syarat seseorang untuk dikatakan layak berangkat ke Arab Saudi adalah telah melakukan vaksinasi meningitis dan influenza. Para jemaah umrah yang akan berangkat biasanya akan melakukan vaksinasi di dokter praktek atau di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Saat melakukan vaksinasi, para jemaah umrah akan memberikan alamat lengkapnya, sehingga di KKP akan tersedia data dan informasi seputar jemaah umrah yang dibutuhkan oleh Puskesmas dalam melakukan pemantauan kesehatan.
Petugas kesehatan haji di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota telah bekerjasama dengan petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sejak lama dalam hal pemantauan kesehatan haji, dengan demikian kerjasama ini dapat dibuat berupa MOU antara Dinas Kesehatan dengan antara Kesehatan Pelabuhan (KKP), juga dapat lebih bersifat personal berupa pendekatan pribadi antara petugas pengelola kesehatan haji dan umrah di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan petugas kesehatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), sehingga pelaksanaan kebijakan cukup dengan membuat surat pengantar permintaan data dari pemerintah daerah untuk dibawa ke Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
Yang menjadi kekurangan dari kebijakan ini adalah, tidak semua calon jemaah umrah akan melakukan vaksinasi di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), ada beberapa dokter praktek yang juga telah menyediakan fasilitas untuk keperluan vaksinasi bagi jemaah umrah, sehingga tidak semua data dan informasi jemaah umrah tersedia di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Disamping itu, calon jemaah umrah yang melakukan vaksinasi pada  bulan berjalan belum tentu akan berangkat pada bulan yang sama, sehingga data keberangkatan dan kepulangan jemaah umrah juga tidak akan tersedia di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
Dengan memperhatikan kondisi yang dikemukakan sebelumnya, maka alternatif kebijakan ini adalah alternatif kebijakan paling cepat dan paling memungkinkan untuk segera dijalankan jika dibandingkan dengan alternatif kebijakan lainnya yang diusulkan dalam policy paper ini.

3.      Membuat Kebijakan Baru tentang Penyelenggaraan Kesehatan Umrah yang Terintegrasi secara Nasional.
Secara empiris yang latarbelakang munculnya alternatif kebijakan ini adalah belajar dari eksistensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia, maka bisa dikatakan pengelolaan kesehatan jemaah haji baik itu dalam kesiapan dan pemeliharaan kesehatan saat sebelum berangkat, saat menjalankan ibadah di Arab Saudi, dan pemantauan kesehatan saat kembali ke tanah air berjalan dengan sistematis dan terkoordinir dengan baik.
Pada kebijakan tersebut, pengelolaan kesehatan dimulai dari tingkat Puskesmas yang meliputi pemeriksaan/konsultasi kesehatan, pemeliharaan kesehatan, penyuluhan kesehatan, vaksinasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sampai pada pemantauan kesehatan saat jemaah haji pulang ke tanah air. Setiap data dan riwayat kesehatan jemaah haji terekam jelas dan lengkap dalam Buku Kesehatan Jemaah Haji (BKJH), BKJH tersebut kemudian menjadi dasar bagi petugas medis di Arab Saudi dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi jemaah yang sakit.
Saat para jemaah haji pulang ke tanah air, mereka dibekali dengan Kartu Kewaspadaan Kesehatan Jemaah Haji (K3JH), kartu ini yang kemudian dilacak oleh para petugas di Puskesmas dalam memantau kesehatan jemaah haji, apabila ada jemaah haji yang mengalami gejala yang dicurigai mirip gejala penyakit menular berbahaya maka akan diketahui dengan cepat untuk disebarluaskan kepada pihak penanggulangan penyakit di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk diteruskan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan selanjutnya akan disampaikan ke Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, maka Kementerian Kesehatan perlu memformulasikan sebuah kebijakan baru terkait pengelolaan kesehatan umrah yang lebih terintegrasi dan sistematis seperti halnya penyelenggaraan kesehatan haji. Dengan demikian pengelolaan kesehatan umrah akan lebih memudahkan petugas kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas untuk melakukan pemantauan kesehatan jemaah umrah khusunya saat mereka kembali ke tanah air, hal itu dikarenakan telah tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai jemaah umrah.
Kelemahan dari kebijakan ini adalah disatu sisi proses formulasi kebijakan yang membutuhkan waktu, sedangkan di sisi lain jemaah umrah Indonesia yang berangkat hampir tiap bulan sehingga dibutuhkan kebijakan yang lebih cepat seperti bekerjasama dengan pihak KKP dalam diseminasi data jemaah umrah.
 


Setelah melihat dan mempertimbangkan setiap alternatif kebijakan dalam rangka upaya mengoptimalkan peyelenggaraan kesehatan jemaah umrah dalam rangka mencegah penyebaran penyakit menular berbahaya, maka pada policy paper ini dipilih alternatif kebijakan terbaik yaitu membuat kebijakan baru tentang penyelenggaraan kesehatan umrah yang terintegrasi secara nasional.
Memang dari segi formulasi kebijakan membutuhkan waktu lebih banyak dibanding alternatif kebijakan lainnya, tetapi untuk ke depannya kebijakan ini akan menciptakan sistem penyelenggaraan kesehatan umrah yang mapan dan kuat secara kelembagaan. Dengan adanya kebijakan ini, penyelenggaraan kesehatan umrah akan lebih terkoordinir secara sistematis dari tingkat Puskesmas hingga ke tingkat pusat di Kementerian Kesehatan. Dengan adanya sistem penyelenggaraan kesehatan umrah yang terkoordinir dengan baik, maka data-data yang dibutuhkan petugas kesehatan utamanya di tingkat Puskesmas dalam rangka melakukan pengamatan kesehatan jemaah umrah akan tersedia dengan memadai.
Kebijakan ini akan membuat penyelenggaraan kesehatan umrah lebih diperhatikan, setelah selama ini terkesan tenggelam oleh “pesona” dan “mewahnya” penyelenggaraan kesehatan haji. Karena seperti halnya jemaah haji, jemaah umrah juga berpotensi untuk membawa penyakit menular berbahaya kembali ke tanah air, bahkan potensi penularan melalui jemaah umrah jauh lebih besar dari pada melalui jemaah haji, mengingat jumlah jemaah umrah yang lebih besar dari jemaah haji. Kebijakan ini nantinya bisa saja berbentuk Keputusan Menteri Kesehatan sebagaimana kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji.
 



D.   KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.      Kesimpulan
a.      MERS-Cov dan Ebola hanyalah bagian dari beberapa macam penyakit menular yang berpotensi masuk ke Indonesia melalui jemaah umrah dan jemaah haji.
b.      MERS-Cov dan Ebola menimbulkan angka kematian yang cukup besar yaitu 44,6% dan 44,9%. Angka tersebut berarti bahwa hampir setengah dari orang terinfeksi penyakit tersebut dinyatakan meninggal
c.       Potensi penularan penyakit menular berbahaya melalui jemaah umrah jauh lebih besar ketimbang melalui jemaah haji, mengingat jumlah jemaah umrah lebih besar dari jumlah jemaah haji tiap tahunnya.
d.     Besarnya potensi penularan melalui jemaah umrah semakin diperkuat dengan belum adanya kebijakan tentang penyelenggaraan kesehatan umrah yang terkoordinir dan sistematis oleh pihak pelayanan kesehatan.
e.      Penyelenggaraan kesehatan umrah yang dimaksud adalah adanya pemeriksaan kesehatan di tingkat Puskesmas, pembinaan dan pemeliharaan kesehatan, penyuluhan kesehatan, vaksinasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tersedianya rekam medis, dan yang paling terpenting adanya pengamatan/pemantauan kesehatan terhadap jemaah umrah setelah mereka kembali ke tanah air untuk mencegah penyebaran penyakit menular.
f.        Pengamatan/pemantauan kesehatan jemaah umrah adalah bagian dari upaya kewaspadaan dalam mendeteksi secara dini masuknya penyakit menular berbahaya ke Indonesia.



2.      Rekomendasi
a.      Kementerian Kesehatan hendaknya membuat sebuah kebijakan baru terkait pengelolaan kesehatan umrah yang lebih terintegrasi dan sistematis seperti halnya penyelenggaraan kesehatan haji. Dengan demikian pengelolaan kesehatan umrah akan lebih memudahkan petugas kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas untuk melakukan penagamatan/pemantauan kesehatan jemaah umrah khusunya saat mereka kembali ke tanah air, hal itu dikarenakan telah tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai jemaah umrah.
b.   Perlunya perhatian dari Pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam menyediakan anggaran untuk kegiatan pengamatan kesehatan jemaah umrah di lapangan, mengingat besarnya jumlah jemaah umrah yang tersebar di pelosok Nusantara.