A. PENDAHULUAN
Sejak tahun 2013 Kementerian Kesehatan Indonesia mewaspadai
munculnya penyakit-penyakit menular seperti virus MERS-Cov di Arab Saudi dan
mewabahnya virus Ebola di Afrika Barat. MERS-Cov adalah penyakit yang menyerang
pernafasan yang disebabkan suatu strain baru virus Corona yang belum pernah
ditemukan menginfeksi manusia sebelumnya. Berdasarkan laporan WHO, sejak
september 2012 sampai september 2013, telah ditemukan 130 kasus konfirmasi
dengan 58 kematian. MERS-Cov mulai menyebar ke Eropa serta dapat pula menyebar
ke negara lain. Sedangkan Ebola adalah salah satu penyakit demam berdarah yang
berakibat fatal pada manusia, berdasarkan laporan WHO periode 1 Oktober 2014,
telah ditemukan 7491 kasus dengan 3439 kematian yang tersebar di Guinea,
Liberia, Siera Lione, Nigeria dan Senegal.
Walaupun sampai saat ini belum ditemukan adanya kasus
konfirmasi MERS-Cov dan Ebola di Indonesia, namun peluang penyakit-penyakit
tersebut untuk masuk ke Indonesia cukup besar. Indonesia merupakan negara
dengan populasi muslim terbesar di dunia, sehingga pada musim haji dan umrah
banyak penduduk muslim yang berangkat ke Arab Saudi. Dimana di Arab Saudi para
jemaah haji dan jemaah umrah Indonesia tidak menutup kemungkinan akan saling
berbaur dan berinteraksi dengan penduduk yang terjangkit MERS-Cov serta jemaah
haji atau jemaah umrah dari negara yang terjangkit Ebola. Berdasarkan data dari
Kementerian Kesehatan, pada musim haji 2013 sekitar 200.000 orang melakukan
Ibadah Haji di Arab Saudi, sedangkan pada tahun yang sama sekitar 750.000 orang
melakukan ibadah umrah di Mekah.
Berdasarkan skenario dan kondisi di atas, maka para
jemaah haji dan jemaah umrah tentunya rentan dengan paparan virus Middle East
Respiratory Siyndrome Corona Virus (MERS-Cov) dan Ebola, yang kemudian
berpotensi untuk membawa pulang virus tersebut ke tanah air. Untuk mencegah hal
tersebut, maka dibutuhkan sebuah upaya pemeriksaan dan pemantauan kesehatan
para jemaah haji dan jemaah umrah saat sebelum berangkat, saat menjalankan
ibadah di Arab Saudi dan setelah kembali ke tanah Air.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengatur
penyelenggaraan kesehatan haji melalui sebuah kebijakan yang tertuang dalam
bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.
Namun untuk penyelenggaraan kesehatan umrah, sampai hari ini Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota beserta Puskesmas sebagai pihak yang paling dekat dengan masalah
kesehatan masyarakat belum pernah mendapatkan petunjuk teknis tentang
penyelenggaraan kesehatan jemaah umrah.
B.
PENJELASAN MASALAH
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tahun 2013
pada bagian pendahuluan, maka dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang
berangkat umrah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menunaikan
ibadah haji, sehingga resiko transisi penularan berbagai penyakit menular
melalui jemaah umrah jauh lebih besar daripada melalui jemaah haji. Pendapat
tersebut semakin diperkuat dengan belum adanya kebijakan yang jelas di tingkat
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas untuk mengatur dan mengawasi
kondisi kesehatan para jemaah umrah khususnya saat jemaah umrah kembali ke
tanah air.
Pada penulisan paper kebijakan ini, MERS-Cov dan Ebola
hanyalah serpihan-serpihan kecil yang menjadi topik global paling hangat dan
faktual dari berbagai macam jenis penyakit menular yang dapat menjadi masalah kesehatan
bagi jemaah umrah. Berikut ini akan dibahas tentang berbagi hal penting yang
harus diperhatikan terkait penyakit MERS-Cov dan Ebola.
1.
MERS-Cov
Virus Corona jenis baru ini pertama kali dilaporkan pada bulan maret 2012
di Arab Saudi. Data WHO periode 30 September 2013 kasus ini telah menyebar ke
berbagai negara berikut :
Tabel 1. Jumlah Kasus dan Kematian serta Penyebaran
MERS-Cov (30/09/2013)
Negara
|
Kasus
|
Kematian
|
Perancis
|
2
|
1
|
Italia
|
1
|
0
|
Yordania
|
2
|
2
|
Qatar
|
5
|
3
|
Arab
Saudi
|
108
|
47
|
Tunisia
|
3
|
1
|
Inggris
|
3
|
2
|
Uni
Emirat Arab
|
6
|
2
|
Total
|
130
|
58
|
Berdasarkan data tersebut, maka angka kematian yang
ditimbulkan oleh MERS-Cov adalah 44,6% jauh lebih fatal jika dibandingkan SARS
yang sebelumnya pernah membuat panik dunia pada tahun 2002 dengan angka kematian
10%. Masa inkubasi atau waktu yang dibutuhkan sejak virus masuk ke dalam tubuh
hingga munculnya gejala adalah 2-14 hari. MERS-Cov menular melalui udara,
sehingga langkah pencegahan yang paling tepat adalah dengan menggunakan masker.
Sebagian besar orang yang terinfeksi MERS-Cov berkembang menjadi penyakit
saluran pernapasan berat dengan gejala gejala demam, sakit dada, batuk/bersin, napas pendek, lemah, diare (tdk ditemukan di
semua kasus), gagal ginjal, dan pneumonia. Orang-orang yang mudah terinfeksi
virus mematikan ini adalah mereka yang kekebalan tubuhnya rendah, seperti orang
yang sedang sakit, lansia, anak kecil, orang yang sedang kelelahan, dalam
perjalanan, dan makan tidak teratur.
Yang menjadi permasalahan terbesar terkait virus ini adalah belum
ditemukannya vaksin yang spesifik untuk mencegah infeksi
MERS-Cov. Selain itu, juga belum ditemukan metode pengobatan yang secara spesifik dapat
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh MERS-Cov. Perawatan medis
hanya bersifat supportive untuk meringankan gejala.
2.
Ebola
Penyakit Ebola disebabkan oleh virus ebola yang pertama kali ditemukan di
Zaire pada tahun 1976. Penyakit ditandai dengan demam mendadak, lemah, nyeri
otot, sakit kepala, sakit tenggorokan. Gejala ini diikuti dengan muntah, diare,
ruam, gangguan fungsi ginjal dan hati, dan dalam beberapa kasus terjadi
perdarahan internal maupun eksternal. Data WHO periode 1 Oktober 2014, penyakit
ini ditemukan di beberapa negara berikut :
Tabel 2. Jumlah Kasus dan Kematian serta Penyebaran Ebola (1/10/2014)
Negara
|
Kasus
|
Kematian
|
Guinea
|
1199
|
739
|
Liberia
|
3834
|
2069
|
Siera
Lione
|
2437
|
623
|
Nigeria
|
20
|
8
|
Senegal
|
1
|
0
|
Amerika
|
1
|
0
|
Kongo
|
70
|
43
|
Total
|
7491
|
3439
|
Berdasarkan data tersebut, maka angka kematian yang
ditimbulkan oleh Ebola adalah 44,9%. Angka tersebut berarti bahwa dari 10 orang
yang terjangkit Ebola hampir 5 orang diantaranya meninggal. Masa inkubasi penyakit
ebola adalah antara 2 sampai 21 hari, transmisi antar manusia terjadi dengan
cara kontak langsung melalui selaput lendir atau kulit terluka dengan darah
atau cairan tubuh orang terinfeksi, serta kontak tidak langsung melalui barang,
alat medis, atau lingkungan terkontaminasi cairan tubuh pasien terinfeksi.
Seperti halnya dengan MERS-Cov hingga saat ini belum ditemukan vaksin
spesifik untuk mencegah ebola dan pengobatan hanya bersifat suportif tergantung
kondisi pasien. Yang perlu menjadi perhatian adalah pasien pria yang telah
sembuh dari Ebola masih bisa menularkan penyakit melalui cairan sperma sampai 7
(tujuh) minggu setelah dinyatakan sembuh.
Sebagaimana yang dikemukakan di awal penjelasan masalah,
bahwa MERS-Cov dan Ebola hanya representasi dari berbagai penyakit menular yang
berpotensi menyebar ke tanah air melalui jemaah umrah. Policy paper ini semacam
“etalase” mini yang memajang 2 (dua) model terbaru penyakit menular mematikan,
dimana dibelakang “model-model” tersebut masih terdapat penyakit menular lain seperti
meningitis dan flu H7N9. Salah satu tujuan
penulisan policy paper ini adalah untuk membuka cakrawala berpikir kita bahwa ada
bahaya penyakit menular mematikan dari luar yang sangat berpotensi menular
sampai ke Indonesia melalui jemaah umrah.
Mari kita perhatikan masa inkubasi 2 (dua) penyakit tadi,
MERS-Cov memiliki masa inkubasi 2-14 hari sedangkan Ebola 2-21 hari. Jika
gejala penyakit muncul pada hari-hari awal seperti hari ke 2 atau 3, maka pihak
kesehatan di Arab Saudi tentu akan menangani lebih awal dengan memberlakukan
karantina untuk dilakukan perawatan, dan jika pihak Arab Saudi tidak sempat
melihat gejalanya maka pihak KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) yang bertugas di
pintu-pintu masuk Bandara yang akan menanganinya. Tetapi mari kita “berfantasi”
sejenak, membayangkan meskipun kita tidak sanggup membayangkan, jika gejala
penyakit muncul di hari-hari terakhir seperti pada hari ke 14 untuk MERS-Cov
dan pada hari ke 21 untuk Ebola, bisa kita pastikan bahwa baik itu pihak
kesehatan Arab Saudi dan KKP di Indonesia tidak akan menemukan gejalanya.
Dengan kata lain, virus itu telah masuk ke Indonesia dan kemungkinan menyebar
kepada orang-orang di sekitar jemaah umrah.
Permasalahan mendasarnya adalah, pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Puskesmas sebagai pihak yang paling dekat dengan masalah
kesehatan masyarakat tidak memiliki data-data tentang jemaah umrah di wilayah
kerja mereka. Dinkes dan Puskesmas sama sekali tidak mengetahui jika ada warga
yang berangkat umrah, kapan berangkat dan kapan kembali. Saat jemaah umrah
pulang ke tanah air dan kembali ke masyarakat, kita tidak akan bisa melacak dan
memantau perkembangan kesehatannya.
Selama ini pihak KKP sebenarnya telah membekali para
jemaah umrah serta para penumpang pesawat yang datang dari luar dan kembali ke
tanah air dengan kartu kewaspadaan kesehatan, dimana pada kartu itu para
pendatang dan jemaah umrah dihimbau untuk memeriksakan diri ke dokter terdekat
jika mengalami sakit dalam 14 hari setelah kedatangan. Yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah para jemaah umrah memiliki kesadaran aktif untuk memperhatikan
himbauan di kartu tersebut, bagaimana jika kartu tersebut hilang atau
“dihilangkan”, kebanyakan jemaah akan menganggap sakit mereka sebagai sakit
biasa karena ketidaktahuan mereka.
Mungkin kita tidak akan pernah mampu mencegah 100% virus-virus
dari luar itu masuk, namun yang terpenting adalah adanya deteksi dini untuk mencegah
penularan lebih besar melalui kewaspadaan petugas kesehatan yang ada di bagian
paling terdekat dengan masyarakat seperti Puskesmas. Untuk itu dibutuhkan
data-data yang akurat tentang jemaah umrah, dibutuhkan adanya catatan kesehatan
yang lengkap, serta informasi akurat kapan mereka berangkat dan kapan mereka
kembali. Karena selama ini data-data tersebut hanya ada di KKP atau agen/travel
perjalanan.
C.
ALTERNATIF
KEBIJAKAN
Untuk mengoptimalkan pemantauan kesehatan jemaah umrah
dalam rangka mencegah penyebaran penyakit menular berbahaya, berikut adalah
beberapa pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan :
1.
Membuat MOU antara PEMDA dengan Agen Perjalanan
Senada dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota pihak Kantor Departemen Agama
Seksi Haji dan Umrah sangat menyayangkan tidak adanya data dan informasi
tentang jemaah umrah di wilayah kerja mereka. Para jemaah Umrah pada umumnya
akan berurusan langsung dengan pihak agen atau travel yang akan memberangkatkan
mereka ke Arab Saudi. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu membuat perjanjian
kerjasama dengan para Agen Perjalanan Umrah sehingga jemaah umrah tidak
terlepas begitu saja dari daerah asalnya.
Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Agen Perjalanan Umrah
harus menitikberatkan pada penyediaan data dan informasi menyeluruh terkait
jemaah umrah. Dengan adanya perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah dan
Agen Perjalanan Umrah, maka data-data yang dibutuhkan seputar jemaah umrah akan
tersedia, setiap warga yang akan melaksanakan ibadah umrah akan dengan mudah
diketahui alamatnya, sehingga akan memudahkan petugas kesehatan di Puskesmas
untuk melakukan pemantauan kesehatan setelah mereka kembali ke tanah air.
Yang menjadi kekurangan dalam kebijakan ini adalah, tidak semua Pemerintah
Daerah memiliki inisiatif untuk membuat perjanjian kerjasama dengan Agen
Perjalanan, sehingga meskipun data dan informasi umrah di suatu daerah tersedia
data umrah di daerah lain tidak akan tersedia, hal ini tentunya akan sia-sia
karena proses transmisi penyakit secara lokal akan tetap berjalan karena hanya
diawasi dari satu pihak saja. Disamping itu, tidak ada peraturan mengikat yang
mengharuskan para Agen atau Travel Perjalanan Umrah untuk membuat perjanjian
kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
2.
Bekerjasama dengan pihak KKP dalam Diseminasi Data Jemaah
Umrah
Tugas pokok Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) adalah melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit,
penyakit potensial wabah, surveilans epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian
dampak kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan, pengawasan OMKABA serta
pengamanan terhadap penyakit baru dan penyakit yang muncul kembali,
bioterorisme, unsur biologi, kimia dan pengamanan radiasi di wilayah kerja
bandara, pelabuhan dan lintas batas darat Negara.
Disaat ada jemaah umrah yang dicurigai mengalami gejala yang mirip dengan
penyakit menular berbahaya, maka Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) akan mengadakan karantina untuk melakukan tindakan perawatan lanjut.
Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) berperan
penting dalam memberikan informasi terkini terkait jemaah umrah.
Disamping itu syarat seseorang untuk dikatakan
layak berangkat ke Arab Saudi adalah telah melakukan vaksinasi meningitis dan
influenza. Para jemaah umrah yang akan berangkat biasanya akan melakukan
vaksinasi di dokter praktek atau di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Saat
melakukan vaksinasi, para jemaah umrah akan memberikan alamat lengkapnya,
sehingga di KKP akan tersedia data dan informasi seputar jemaah umrah yang
dibutuhkan oleh Puskesmas dalam melakukan pemantauan kesehatan.
Petugas kesehatan haji di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota telah bekerjasama
dengan petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sejak lama
dalam hal pemantauan kesehatan haji, dengan demikian kerjasama ini dapat
dibuat berupa MOU antara Dinas Kesehatan dengan antara Kesehatan
Pelabuhan (KKP), juga dapat lebih bersifat personal berupa
pendekatan pribadi antara petugas pengelola kesehatan haji dan umrah di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan petugas kesehatan di Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP), sehingga pelaksanaan kebijakan cukup dengan membuat
surat pengantar permintaan data dari pemerintah daerah untuk dibawa ke Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP).
Yang menjadi kekurangan dari kebijakan ini adalah, tidak semua calon jemaah
umrah akan melakukan vaksinasi di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), ada
beberapa dokter praktek yang juga telah menyediakan fasilitas untuk keperluan
vaksinasi bagi jemaah umrah, sehingga tidak semua data dan informasi jemaah
umrah tersedia di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Disamping itu, calon jemaah
umrah yang melakukan vaksinasi pada
bulan berjalan belum tentu akan berangkat pada bulan yang sama, sehingga
data keberangkatan dan kepulangan jemaah umrah juga tidak akan tersedia di Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP).
Dengan memperhatikan kondisi yang dikemukakan sebelumnya, maka alternatif
kebijakan ini adalah alternatif kebijakan paling cepat dan paling memungkinkan
untuk segera dijalankan jika dibandingkan dengan alternatif kebijakan lainnya
yang diusulkan dalam policy paper ini.
3.
Membuat Kebijakan Baru tentang Penyelenggaraan Kesehatan
Umrah yang Terintegrasi secara Nasional.
Secara empiris yang latarbelakang munculnya alternatif kebijakan ini adalah
belajar dari eksistensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
442/MENKES/SK/VI/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia,
maka bisa dikatakan pengelolaan kesehatan jemaah haji baik itu dalam kesiapan
dan pemeliharaan kesehatan saat sebelum berangkat, saat menjalankan ibadah di
Arab Saudi, dan pemantauan kesehatan saat kembali ke tanah air berjalan dengan
sistematis dan terkoordinir dengan baik.
Pada kebijakan tersebut, pengelolaan kesehatan dimulai dari tingkat
Puskesmas yang meliputi pemeriksaan/konsultasi kesehatan, pemeliharaan
kesehatan, penyuluhan kesehatan, vaksinasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
sampai pada pemantauan kesehatan saat jemaah haji pulang ke tanah air. Setiap
data dan riwayat kesehatan jemaah haji terekam jelas dan lengkap dalam Buku
Kesehatan Jemaah Haji (BKJH), BKJH tersebut kemudian menjadi dasar bagi petugas
medis di Arab Saudi dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi jemaah yang
sakit.
Saat para jemaah haji pulang ke tanah air, mereka dibekali dengan Kartu
Kewaspadaan Kesehatan Jemaah Haji (K3JH), kartu ini yang kemudian dilacak oleh
para petugas di Puskesmas dalam memantau kesehatan jemaah haji, apabila ada
jemaah haji yang mengalami gejala yang dicurigai mirip gejala penyakit menular
berbahaya maka akan diketahui dengan cepat untuk disebarluaskan kepada pihak
penanggulangan penyakit di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk diteruskan ke
Dinas Kesehatan Provinsi dan selanjutnya akan disampaikan ke Kementerian
Kesehatan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, maka Kementerian Kesehatan perlu
memformulasikan sebuah kebijakan baru terkait pengelolaan kesehatan umrah yang lebih
terintegrasi dan sistematis seperti halnya penyelenggaraan kesehatan haji.
Dengan demikian pengelolaan kesehatan umrah akan lebih memudahkan petugas
kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas untuk
melakukan pemantauan kesehatan jemaah umrah khusunya saat mereka kembali ke
tanah air, hal itu dikarenakan telah tersedianya data dan informasi yang
lengkap mengenai jemaah umrah.
Kelemahan dari kebijakan ini adalah disatu sisi proses formulasi kebijakan
yang membutuhkan waktu, sedangkan di sisi lain jemaah umrah Indonesia yang
berangkat hampir tiap bulan sehingga dibutuhkan kebijakan yang lebih cepat
seperti bekerjasama dengan pihak KKP dalam diseminasi data jemaah umrah.
Setelah melihat dan mempertimbangkan setiap alternatif
kebijakan dalam rangka upaya mengoptimalkan peyelenggaraan kesehatan jemaah
umrah dalam rangka mencegah penyebaran penyakit menular berbahaya, maka pada
policy paper ini dipilih alternatif kebijakan terbaik yaitu membuat kebijakan
baru tentang penyelenggaraan kesehatan umrah yang terintegrasi secara nasional.
Memang dari segi formulasi kebijakan membutuhkan waktu
lebih banyak dibanding alternatif kebijakan lainnya, tetapi untuk ke depannya
kebijakan ini akan menciptakan sistem penyelenggaraan kesehatan umrah yang
mapan dan kuat secara kelembagaan. Dengan adanya kebijakan ini, penyelenggaraan
kesehatan umrah akan lebih terkoordinir secara sistematis dari tingkat
Puskesmas hingga ke tingkat pusat di Kementerian Kesehatan. Dengan adanya
sistem penyelenggaraan kesehatan umrah yang terkoordinir dengan baik, maka
data-data yang dibutuhkan petugas kesehatan utamanya di tingkat Puskesmas dalam
rangka melakukan pengamatan kesehatan jemaah umrah akan tersedia dengan
memadai.
Kebijakan ini akan membuat penyelenggaraan kesehatan
umrah lebih diperhatikan, setelah selama ini terkesan tenggelam oleh “pesona”
dan “mewahnya” penyelenggaraan kesehatan haji. Karena seperti halnya jemaah
haji, jemaah umrah juga berpotensi untuk membawa penyakit menular berbahaya
kembali ke tanah air, bahkan potensi penularan melalui jemaah umrah jauh lebih
besar dari pada melalui jemaah haji, mengingat jumlah jemaah umrah yang lebih
besar dari jemaah haji. Kebijakan ini nantinya bisa saja berbentuk Keputusan
Menteri Kesehatan sebagaimana kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji.
D.
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
1.
Kesimpulan
a.
MERS-Cov dan Ebola hanyalah bagian dari beberapa macam
penyakit menular yang berpotensi masuk ke Indonesia melalui jemaah umrah dan
jemaah haji.
b.
MERS-Cov dan Ebola menimbulkan angka kematian yang cukup
besar yaitu 44,6% dan 44,9%. Angka tersebut berarti bahwa hampir setengah dari
orang terinfeksi penyakit tersebut dinyatakan meninggal
c.
Potensi penularan penyakit menular berbahaya melalui
jemaah umrah jauh lebih besar ketimbang melalui jemaah haji, mengingat jumlah
jemaah umrah lebih besar dari jumlah jemaah haji tiap tahunnya.
d.
Besarnya potensi penularan melalui jemaah umrah semakin diperkuat
dengan belum adanya kebijakan tentang penyelenggaraan kesehatan umrah yang
terkoordinir dan sistematis oleh pihak pelayanan kesehatan.
e.
Penyelenggaraan kesehatan umrah yang dimaksud adalah
adanya pemeriksaan kesehatan di tingkat Puskesmas, pembinaan dan pemeliharaan
kesehatan, penyuluhan kesehatan, vaksinasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
tersedianya rekam medis, dan yang paling terpenting adanya pengamatan/pemantauan
kesehatan terhadap jemaah umrah setelah mereka kembali ke tanah air untuk mencegah
penyebaran penyakit menular.
f.
Pengamatan/pemantauan kesehatan jemaah umrah adalah
bagian dari upaya kewaspadaan dalam mendeteksi secara dini masuknya penyakit
menular berbahaya ke Indonesia.
2.
Rekomendasi
a.
Kementerian Kesehatan hendaknya membuat sebuah kebijakan
baru terkait pengelolaan kesehatan umrah yang lebih terintegrasi dan sistematis
seperti halnya penyelenggaraan kesehatan haji. Dengan demikian pengelolaan
kesehatan umrah akan lebih memudahkan petugas kesehatan di tingkat Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas untuk melakukan penagamatan/pemantauan
kesehatan jemaah umrah khusunya saat mereka kembali ke tanah air, hal itu
dikarenakan telah tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai jemaah
umrah.
b. Perlunya
perhatian dari Pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam
menyediakan anggaran untuk kegiatan pengamatan kesehatan jemaah umrah di
lapangan, mengingat besarnya jumlah jemaah umrah yang tersebar di pelosok
Nusantara.